Selasa, 28 Agustus 2018

Resensi Novel Salah Asuhan


Related image



Judul : Salah Asuhan
Pengarang : Abdul Moeis
Tahun Terbit : 2009
Cetakan ke- : 39 ( Tiga Puluh Sembilan )
Tebal Buku : vii + 273 halaman
Penerbit : Balai Pustaka
Tempat Terbit : Jakarta

Sinopsis

“Setinggi-tingginya kita bersekolah, jangan sampai kita melupakan tanah tempat pijakan awal kita.”
Sekiranya, itulah salah satu pesan yang tersurat dalam roman karangan Abdoel Moeis ini. Roman yang berseting di Solok, Sumatra Barat, dan Betawi ini mengisahkan tentang kehidupan sekelumit rakyat Indonesia pada zaman pendudukan Belanda.
Setelah sekian tahun Belanda menjajah Indonesia dan memeras sumber daya alam dan manusia Indonesia, akhirnya Belanda membalas budi pada bangsa Indonesia, salah satunya adalah mendirikan sekolah-sekolah bagi rakyat Pribumi. Salah satu dampak dari pendidikan yang diberikan Belanda inilah yang menjadi salah satu tema dalam Roman Salah Asuhan ini.
Roman ini bercerita tentang Hanafi, seorang bumiputera asli yang sejak kecil dididik dalam sekolah bergaya Belanda. Waktu yang cukup lama mampu mengubah bahkan menghilangkan sifat ketimuran seorang Hanafi. Menjadi seorang yang bertingkah laku kebarat-baratan dan cenderung meremehkan bangsanya sendiri.
Di sini pula, Hanafi jatuh cinta pada seorang gadis peranakan Belanda-Indonesia, Corrie de Busse. Kebersamaan yang telah berjalan sejak mereka kecil telah menanamkan rasa cinta yang begitu dalam pada hati mereka.
Namun, cinta mereka harus kandas tanpa terikat oleh pernikahan. Di mulai dari sikap menjauh Corrie de Busse yang membuat Hanafi kecewa, hingga akhirnya Hanafi menerima istri pemberian Ibunya, Rapiah, sekedar untuk membayar hutang budi pada pamannya. Dari pernikahan ini, lahirlah Syafei, yang sungguh sama sekali tidak mendapat perhatian penuh dari Ayahnya.
Karma pernikahan yang sesungguhnya tidak diinginkan itu, ditambah pula cinta Hanafi yang sedemikian besar pada Corrie, membuat Hanafi akhirnya menjemput Corrie ke Betawi dengan alasan berobat dan menikahi Corrie. Ia meninggalkan begitu saja Rapiah dan Syafei serta Ibunya di Solok.
Pernikahan Corrie dan Hanafi yang diawali dengan cinta ini pun akhirnya berakhir mengenaskan. Di mulai dengan awal pernikahan yang hambar, ditambah Hanafi menuduh Corrie sesuatu hal yang buruk, hingga Corrie pun pergi entah ke mana. Selama satu tahun lebih, tidak dapat terjalin komunikasi di antara mereka.
Roman ini dibalut dengan unsur sastra, budaya, dan kritik terhadap “Sikap Kebarat-baratan” yang kental. Abdoel Moeis meramu semua ini dengan begitu cantiknya, ditambah pula dengan tambahan bahasa Belanda dan pantun-pantun yang menarik. Alur cerita dalam roman ini juga sangat menarik hingga pembaca tidak akan bosan membaca roman tersebut.
Nasihat orang tua, keinginan yang begitu besar tanpa mengindahkan apa kata orang menjadi batu sandungan tentang kenapa semua peristiwa tersebut terjadi pada Hanafi dan Corrie. Berikut salah satu kutipan nasihat Ayah Corrie kepada Corrie, ketika Corrie berbicara tentang kemungkinan wanita Belanda menikah dengan pria bumiputera,
“Kawin campuran itu sesunguhnya banyak benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh manusia juga Corrie ! Karena masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu penyakit kesombongan bangsa. Sekalian orang, masing-masing dengan perasaannya sendiri, menyalahi akan bangsanya, yang menghubungkan hidup kepada bangsa yang lain, meskipun kedua orang menjadi suami-istri itu sangat berkasih-kasihan.”
Di dalam roman ini juga diajarkan bahwa ajaran agama tak boleh ditinggalkan walau telah berpendidikan tinggi. Karena itulah yang akan membawa kita selamat dunia dan akhirat.
Roman ini nyaris tidak mempunyai kekurangan. Percampuran bahasa Melayu dan Belanda yang ada memang cukup memusingkan, apalagi bagi anak remaja dan dewasa jaman sekarang. Di mana bahasa Melayu sudah sangat jarang dipakai. Namun, sesungguhnya tak ada kesalahan dalam roman ini.
Abdoel Moeis memang seorang penulis yang imajinatif. Awal roman yang indah, jalan cerita yang menarik, ditutup dengan akhir yang tragis namun dengan bahasa yang indah, sehingga seolah-olah pembaca tidak merasa bahwa Hanafi melakukan perbuatan dosa.
Akhir pada novel ini dimulai dengan penyesalan Hanafi, seperti yang tertulis dalam kutipan ini,
“Tahulah Hanafi sekarang; Rapiah, intan yang belum digosok. Sayang, ia tak pandai menggosoknya hingga barang yang berharga itu dibuang-buang, disangkanya tidak berharga.
Corrie berlian yang sudah digosok, harganya tidak ternilai-nilai, tapi si suami yang celaka tak pandai memakainya dan enyahlah harta itu dari kandungannya. Hanafi menyesali dirinya tidak berhingga-hingga.”
Hingga akhirnya, pemutusan nyawa yang dipaksa pun menjadi penutup yang indah bagi roman ini.